Latar Belakang Masalah

Di era Globalisasi saat ini, setiap Negara dituntut untuk dapat meningkatkan pembangunan agar dapat mengejar atau menyamai Negara-negara yang dianggap mapan dalam rangka menopang stabilitas internasional. Pembangunan tersebut diarahkan secara spesifik untuk membentuk kesejahteraan masyarakat yang adil dan makmur di masing-masing Negara tidak terkcuali di Indonesia dengan memperhatikan segala aspek termasuk aspek lingkungan hidup.

Aspek lingkungan hidup ini penting didasarkan pada upaya pelestarian dan perlindungan terhadap kekayaan alam sebagai hak bersama untuk dinikmati dan wajib dijaga agar dapat terus memberi faedah dalam kesehariannya.
Tidak terlepas dari itu, bidang kehutanan sebagai salah satu bagian dari Lingkungan Hidup, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan salah satu kekayaan alam yang sangat penting bagi manusia. Hal ini diakibatkan banyaknya manfaat yang sdapat diambil dari hutan. Misalnya, hutan sebagai penyyangga paru-paru gunia, dari hutan kita bisa mengambil kayu, hutan sebagai penyangga cadangan air tanah terbesar, dan banyak manfaat lainnya yang dapat dimanfaatkan. Oleh karenya tidak heran apabila upaya pelestarian dan perlingdungan hutan adalah hal yang sangat wajar demi menjaga keselarasan, keseimbangan serta keharmonisan jagad raya serta dengan memperhatikan kehidupan keberlanjutan dimasa yang akan datang.

Dengan banyak manfaat tersebut, hutan pun menjadi sangat idola bagi pemanfaatan sumber daya kekayaan alam. Faktor ini pun menjadi alasan utama eksploitasi hutan. Padahal jika dicerna keberadaan hutan tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekonomis saja tetapi juga dari social budaya, dimana hutan sebagai tempat tinggal berbagai macam mahluk hidup manusia,binatang, dan tumbuhan serta dari sisi kesehatan sebagai paru-paru dunia, senjata ampuh bagi “Global Warming” serta banyak manfaat lain.
Pemanfaatan hutan pun dilakukan secara legal dan illegal. Secara pengelolaan legal, hutan dapat membentuk tatanan yang bermanfaat bagi semua pihak, secara illegal dapat bermanfaat dalam penerapan tenaga kerja, bermanfaat bagi semua individu serta kekhawatiran atas adanya kerusakan pun akan terminimalisir. Yang menjadi masalah saat ini pengelolaan hutan yang dilakukan secara illegal telah membuat dampak buruk bagi semua pihak baik dari segi ekonomi, kesehatan, social budaya dan bagi sisi-sisi lainnya.

Kerugian tersebut terjadi sebagai akibat tidak adanya landasan hukum yang melandasi agar tidak dilakukannya perbuatan yang semena-mena terhadap hal kehutanan. Dengan adanya hukum maka dapat diharapkan meminimalisir terjadinya kerusakan hutan yang berimplikasi luas terhadap lingkungan hidup yang selaras.
Landasan hukum yang akan dibentuk ini tentunya sangat baik dengan ditunjangnya aspek Pidana didalam yang dapar membatasi dan mengatur penerapan penjatuhan sanksi bagi siapa saja yang melakukan pengerusakan dan pencemaran hutan. Dengan adanya aspek hukum pidana dalam bidang kehutanan ini setidaknya dapat meminimalisir adanya kerugian tersebut. Oleh karena itu makalah ini akan mengulas analisis aspek pidana dalam Undang-undang Kehutanan nomor 41 tahun 1999.


Pengertian Tindak Pidana Kehutanan
Adapun Pengertian dari Tindak Pidana Bidang Kehutanan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang -undangan di bidang kehutanan dan diancam dengan sanksi atau hukuman bagi pelakunya.
Ada pun 15 jenis Tindak Pidana yang termasuk dalam Undang-Undang kehutanan ini adalah :
Segala bentuk tindak pidana, baik itu berupa pelanggaran maupun kejahatan yang diatur dalam Pasal 50 tersebut diantaranya berbunyi :
1. Ayat (1) : “ Setiap orang dilarang merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan. “Yang dimaksud dengan orang adalah Subjek Hukum, baik orang pribadi, badan hukum maupun badan usaha. Prasarana pelindungan hutan misalnya : pagar- pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas dan jalan pemeriksaan.

2. Ayat ( 2 ) :“ Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan , izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatn hasil hutan kayu dan bukan kayu, seta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan”. Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayati, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya.

3. Ayat 3 huruf a : Setiap orang dilarang : Mengerjakan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
Berdasarkan pada penjelasan atas Undang – Undang Kehutanan, yang dimaksud dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian atau untuk usaha lainnya.

4. Ayat 3 huruf b : Setiap orang dilarang Merambah Kawasan Hutan;
Maksudnya adalah melakukan pembukaan kawasan hutan tanpa mendapat izin dari pejabat yang berwenang.
5. Ayat 3 huruf c : Setiap orang dilarang Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan :
1. 500 ( lima ratus ) meter dari tepi waduk atau danau.
2. 200 ( dua ratus ) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 ( seratus ) meter dari kiri kanan tepi sungai ;

4. 50 ( lima puluh ) meter dari kiri kanan tepi anak sungai ;
5. 2 ( dua ) kali ke dalam juran dari tepi jurang;
6. 130 ( seratus tiga puluh ) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai; Penjelasan Secara umum, jarak tersebut sudah cukup baik unuk mengamankan kepentingan konservasi anah dan air, pengecualian dari ketentuan tersebut dapat diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan masyarakat.

6. Ayat 3 huruf d : Setiap orang dilarangMembakar hutan;
Pada prinsipnya, pembakaran hutan dilarang. Pembakaran hutan secara terbatas diperkenankan hanya untuk tujuan khusus atau kondisi yan tidak dapat dielakkan , antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Pelaksanaan pembakaran hutan secara terbatas tersebut harus mendapat izin dari pejabat berwenang. Sanksi pidana penjara dan denda dapat dikenakan kepada pelaku pembaaran hutan baik dengan sengaja, atau terjadi kelalaian dari sipelaku. Dalam hal ini terdapat 4 ( empat ) bentuk terjadinya pembakaran hutan yang diidentifikasi sebagai berikut : 1). Tindakan membakar hutan dengan sengaja dilakukan orang tertentu, tanpa ada kewenangan atau izin untuk berada di dalam kawasan hutan. 2). Tindakan membakar hutan dengan tidak sengaja dilakukan orang akibat memasukkan kawasan hutan tanpa izin yang berwenang. 3). Tindakan membakar hutan denan sengaja dilakukan Badan Hukum atau orang yang diizinkan pihak berwenang untuk bekerja atau berada dalam kawasan hutan. 4). Tindakan membakar hutan dengan tidak sengaja dilakukan orang atau Badan Hukum yang diizinkan melakukan kegiatan usaha di dalam kawasan hutan oleh pihak yang berwenang. Sesuai prinsip dan aturan hukum, bahwa setiap orang atau Badan Hukum tidak diperkenankan melakukan tindakan membakar hutan kecuali dilakukan berdasarkan kewenangan yang sah untuk tujuan – tujuan yang ditentukan, misalnya: a. Pembakaran hutan untuk kepentingan pembuatan padan rumput makanan ternak. b. Pembakaran dilakukan untuk kepentingan persiapan lokasi penanaman pohon di kawasan hutan.
Pembakaran hutan yang dilakukan dengan sengaja untuk kepentingan yang dikehendaki dan telah meeperoleh persetujuan pemerintah yang dinyatakan sesuai peraturan perundang – undangan yang berlaku.Sebaliknya, diletakkan suatu kewajiban didalam hukum perlindungan hutan, bahwa setiap orang wajib ikut serta didalam usaha pemadaman apabila terjadi kebakaran hutan.

7. Ayat 3 huruf e : Setiap orang dilarang Menebang pohon atau memanen atau memungu hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang;
Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang adalah pejabat pusat atau daerah yang diberi wewenang oleh undang – undang unuk memberikan izin. Sedangkan yang dimaksud dengan hasil hutan adalah segala hasil – hasil yang berasal dari hutan, berupa tumbuh – tumbuhan ( flora ), satwa ( fauna ). Hasil hutan yang berupa tumbuhan, misalnya: batang kayu, ranting kayu, rotan, bambu, pohon, sagu, pohon aren, rumputan, bunga, damar, minyak kayu, getah kayu, dan jenis tumbuhan lainnya. Hasil hutan berupa satwa, misalnya pada: hewan jenis mamalia, jenis aves, jenis melata, jenis serangga, jenis ikan dan coral. Baik satwa maupun tumbuhan memiiki spesifikasi dan keunikan sehingga berbagai spesies diantaranya dilindungi dan dijaga dari bahaya kepunahan.

8. Ayat 3 huruf f : Setiap orang dilarang Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil huan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah;
9. Ayat 3 huruf g : Setiap orang dilarang Melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi umum atau geofisika di daratan, perairan, dan dari udara, dengan maksud untuk membuat peta gelgi umum atau untuk menetapkan tanda – tanda adanya bahan galian. Eksplorasi adalah segala penyelidikan gelgi pertambangan untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat letakannya. Sedangkan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk menghasilkan bahan galian dan pemafaatannya.

10. Ayat 3 huruf h : Setiap orang dilarang Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tida dilengkapi bersama – sama dengan surat – surat keterangan sahnya hasil hutan; Penjelasan yang dimaksud dengan “dilengkapi bersama – sama“ adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan, pada waktu dan tempat yang sama, harus disertai dan dilengkapi surat – surat yang sah sebagai bukti.

11. Ayat 3 huruf i : Setiap orang dilarang Menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang; Pejabat yang berwenang menetapkan tempat – tempat yang khusus untuk kegiatan penggembalaan ternak dalam kawasan hutan.

12. Ayat 3 huruf j : Setiap orang dilarang Membawa alat – alat berat dan atau alat – alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang; Yang dikategorikan sebagai alat – alat berat untuk mengangkut dalam Undang – Undang Kehutanan ini, antara lain berupa Traktor, Buldozer, Truk, Logging, Truck, Trailer, Crane, Tongkang, Perahu Klotok, Helikopter, Jeep, Tugbat, dan Kapal.

13. Ayat 3 huruf k : Setiap orang dilarang Membawa alat – alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang; yang tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah yang membawa alat – alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat.

14. Ayat 3 huruf l : Setiap orang dilarang Membuang benda – benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan, serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan;

15. Ayat 3 huruf m : Setiap orang dilarang Mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh – tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang – undang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa dan mengangkut tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi diatur sesuai dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Penggolongan Tindak Pidana Kehutanan
Merujuk kepada Undang - Undang Kehutanan, tindak pidana di bidang kehutanan meliputi 15 jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu ;
1) larangan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan;
2) larangan menimbulkan kerusakan hutan;
3) larangan yang bersifat administratif namun memberikan sanksi pidana.
Golongan pertama dan golongan ketiga, merupakan tindak pidana formil (delik formil); sedangkan golongan kedua, merupakan tindak pidana materiel (delik materiel) yang mensyaratkan terjadinya akibat kerusakan hutan. Golongan ketiga dari jenis tindak pidana di bidang kehutanan sesungguhnya merupakan ketentuan administrative yang menimbulkan suatu akibat (kerusakan hutan) karena ditujukan kepada penerima izin usaha di bidang kehutanan (izin usaha pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu).
Jenis Sanksi dan Sistem Penjatuhan Sanksi
Ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Bab XIV, Ketentuan Pidana dirumuskan secara kumulatif, sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda bersama (Pasal 78 ayat (1) s/d (15)). Undang-undang Kehutanan tahun 1999 tersebut memasukkan ketentuan mengenai Ganti Rugi dan Sanksi Administratif (Bab XV) Pasal 80. di dalam undang-undang Kehutanan tersebut, pembentukan undang-undang menetapkan bahwa terhadap setiap pelanggaran ketentuan Pasal 50 UU Kehutanan akan menerima sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, sanksi administratif dan kewajiban untuk mengganti kerugian dalam satu paket sanksi.
Berdasarkan ketentuan pidana dalam UU Kehutanan tersebut, seharusnya ketentuan pidana tersebut efektif untuk mencegah dan memberantas illegal logging. Namun di dalam udang-undang kehutanan juga dimasukkan ketentuan mengenai kewajiban penyidik PNS Kehutanan untuk menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum (kejaksaan) (Pasal 77 ayat (3) sehingga masih terbuka kemungkinan pihak Kejaksaan Agung untuk menetapkan tindak pidana di bidang kehutanan sebagai tindak pidana korupsi, bukan sanksi pidana sebagaimana diatur di dalam Bab XIV Ketentuan Pidana UU Kehutanan. Ketentuan Pasal 77 ayat (3) UU Kehutanan tersebut potensial menimbulkan konflik penerapan hukum jika tidak dipahami makna suatu Undang-Undang sebagai “lex specialis systematic” di satu sisi dan “lex specialis” di sisi lain.
Kententuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41/1999 adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya yang cukup berat.

Kelemahan dari Undang-undang kehutanan ini
Adapun kelemahan dari undang-undang ini adalah :
1. belum mengatur perihal tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri, sehingga aturan hukum yang dipakai untuk menindak pelaku-pelaku khususnya pegawai negeri yang terlibat dalam kejahatan Kehutanan seperti penebangan liar (illegal logging) terutama yang menyangkut unsur-unsur korupsi masih terus mengacu pada undang-undang tentang pemberantasan korupsi ini.
2. Ternyata Undang-undang ini tidak mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau korporasi sehingga memberi ruang bagi elit poliitik dan pengusaha untuk memanfaatkan keadaan ini untuk kelompoknya.
3. Adanya kesalahan koordinasi antara pihak hukum yang berwenang dalam melakukan penegakkan hukum dalam permalahan kehutanan ini akibat tidak diatur secara jelasnya pembatasan kewenangan masing-masing pihak. Serta masih banyak kelemahan lainnya.



Kesimpulan
1. Tindak Pidana Bidang Kehutanan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan peraturan perundang -undangan di bidang kehutanan dan diancam dengan sanksi atau hukuman bagi pelakunya.

2. Merujuk kepada Undang - Undang Kehutanan, tindak pidana di bidang kehutanan meliputi 15 jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam 3 golongan, yaitu ;
1) larangan merusak sarana dan prasarana perlindungan hutan;
2) larangan menimbulkan kerusakan hutan;
3) larangan yang bersifat administratif namun memberikan sanksi pidana.

3. Ancaman sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Bab XIV, Ketentuan Pidana dirumuskan secara kumulatif, sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda bersama.

4. Kententuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya dalam Pasal 78 UU No.41/1999 adalah merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan. Efek jera yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana kehutanan, akan tetapi kepada orang lain yang mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan menjadi enggan melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidananya yang cukup berat.

5. Adapun kelemahan dari undang-undang ini adalah :
belum mengatur perihal tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri, sehingga aturan hukum yang dipakai untuk menindak pelaku-pelaku khususnya pegawai negeri yang terlibat dalam kejahatan Kehutanan seperti penebangan liar (illegal logging) terutama yang menyangkut unsur-unsur korupsi masih terus mengacu pada undang-undang tentang pemberantasan korupsi ini.
Ternyata Undang-undang ini tidak mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh perusahaan atau korporasi sehingga memberi ruang bagi elit poliitik dan pengusaha untuk memanfaatkan keadaan ini untuk
kelompoknya.Adanya kesalahan koordinasi antara pihak hukum yang berwenang dalam melakukan penegakkan hukum dalam permalahan kehutanan ini akibat tidak diatur secara jelasnya pembatasan kewenangan masing-masing pihak. Serta masih banyak kelemahan lainnya.


Saran
Dengan keberadaan Undang-Undang Kehutanan Nomor. 14 Tahun 1999 mengenai bidang kehutanan telah mengatur secara baik dan jelas mengenai jenis- jenis tindak pidana yang termasuk dalam kejahatan dan pelanggaran didalam hal kehutanan, namun menurut penulis perlunya penyempurnaan Undang-Undang ini dikarenakan Undang_undang Nomor. 14 tahun 1999 ini salah satunya belum mengatur perihal tindak pidana kehutanan yang melibatkan pegawai negeri, sehingga aturan hukum yang dipakai untuk menindak pelaku-pelaku khususnya pegawai negeri yang terlibat dalam kejahatan Kehutanan seperti penebangan liar (illegal logging) terutama yang menyangkut unsur-unsur korupsi masih terus mengacu pada undang-undang tentang pemberantasan korupsi ini.

These icons link to social bookmarking sites where readers can share and discover new web pages.
  • Digg
  • Sphinn
  • del.icio.us
  • Facebook
  • Mixx
  • Google
  • Furl
  • Reddit
  • Spurl
  • StumbleUpon
  • Technorati